Sekaya apapun harta yang kita miliki, Semewah Apapun Gaya Hidup Kita, Kelak Di Sinilah Tempat Kita Kembali

 Sekaya apapun harta yang kita miliki, Semewah Apapun Gaya Hidup Kita, Kelak Di Sinilah Tempat Kita Kembali
 Sekaya apapun harta yang kita miliki, Semewah Apapun Gaya Hidup Kita, Kelak Di Sinilah Tempat Kita Kembali
Banyak alasan yang melatarbelangi orang-orang yang selalu ingin menjelajah dunia dan mengunjungi tempat-tempat baru. Mereka yang selalu mempertanyakan di mana ujung dunia sementara dunia itu tidak berujung, atau mereka yang ingin melarikan diri dari berbagai macam aktivitas yang sempat memenjarakannya. Teman saya, seorang manager bank di kota Jakarta adalah penggila traveling. Di tengah kesibukannya, ia adalah pengatur waktu yang hebat. Ia bisa membagi waktu dengan bijak antara traveling dan pekerjaan. Saat weekend, adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri dari rutinitas. Mulai dari menjelajah gunung dengan ketinggian standar junior hingga gunung untuk para senior. Pantai-pantai lokal hingga pantai luar pulau pernah ia kunjungi.
Ia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan memanjakan diri, hingga lupa bahwa umurnya sekarang tidak muda lagi. Wanita dengan umur hampir mendekati 30 dan belum memiliki pasangan hidup menjadi momok menakutkan bagi wanita. Untungnya ia hidup di kota metropolitan dengan orang-orang yang tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan ia sendiri pun tak peduli dengan anggapan-anggapan miring orang lain.
Kamu yang muda, mengembaralah
Muda adalah waktu yang tepat untuk mulai bertualang di dunia luar. Seperti tokoh dari Italia, Marcopolo memulai perjalanannya di usianya 23 tahun yang ikut bersama ayah dan pamannya mengarungi samudera untuk berdagang.Kamu muda, punya mimpi, dan berani. Menggembaralah sejauh mungkin. Kamu belum terikat oleh banyak tanggungan yang membebanimu. Kamu ringan dan bebas melangkah melesat seperti elang.
Jelajahi tempat-tempat yang akan memberimu banyak pelajaran hidup seperti perjalanan Agustinus Wibowo. Saat ia menjadi seorang mahasiswa di negara China, ia mulai memberanikan diri untuk melihat seperti apa dunia. Agustinus melakukan perjalanannya seorang diri dalam pengembaraannya di Tibet. Ia harus berjalan pincang dengan luka di kaki yang mengharuskan ia menyeret kakinya di tengah malam dalam keadaan badan yang basah kuyub setelah tercebur sungai yang dalam dan berbetu terjal, sungai Kailash. Jarak yang ditempuhnya tidak main-main, 20 kilometer lagi untuk menempuh kota Darchen.
Adapula kisah Ibnu Batuta, seorang tokoh muslim yang melakukan penjelajahan ke seluruh penjuru dunia. Alasannya adalah untuk bertemu dengan orang baru dengan berbagai latar belakang. Dimulai dengan menantang gersangnya gurun pasir yang panas berjarak ratusan kilometer dan bertemu para perompak yang mengancamnya. Sudut demi sudut dunia ia kunjungi untuk mempelajari banyak perbedaan.
Sebuah tempat yang kita sebut rumah Petualang itu seperti burung merpati. Ratusan kilometer ia tempuh dengan berbagai medan yang berat sekalipun, namun ia pasti akan pulang ke sangkarnya.Tak ada yang salah dengan melangkah ke tempat-tempat jauh, untuk mendapat wawasan baru, atau juga mendapat kenalan baru. Yang perlu diingat, sejauh apa pun kita melangkah, kita punya tempat yang kita sebut “rumah” sebagai tempat untuk pulang.





Sumber Artikel: